Sejarah Rabiah Al Adawiyah dan Al
Hallaj
1. RABI’AH
AL-ADAWIYAH
Sufi adalah istilah untuk mereka
yang mendalami ilmu tasawwuf, sejenis aliran mistik dalam agama Islam. Sudah
menjadi hal yang umum sejak zaman dulu bahwa yang menjadi tokoh sufi adalah
berasal dari kalangan kaum laki-laki seperti Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Syekh
Shohibul Faroji Azmatkhan Ba’alawi Al-Husaini, Syekh Abdul Qadir Jaelani, Abu
Nawas, Syekh Abul Hasan Asy Syadzili. Laki-laki memang sudah sepantasnya
menjadi pemimpin dan tokoh utama dalam setiap bidang. Namun teori itu tak
berlaku lagi ketika muncul seorang tokoh sufi yang berasal dari
kaum wanita yang bernama Siti Rabiatul Adawiyah.
Rabiah adalah sufi pertama yang
memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau
tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain
Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah
Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M
dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep
Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I
Tabriz.
Siti Rabiah Adawiyah lahir di Basra
pada tahun 105 H dan meninggal pada tahun 185 H. Siti Rabiah Al Adawiyah adalah
salah seorang perempuan Sufi yang mengabdikan seluruh hidupnya
hanya untuk beribadah kepada Allah. Soerang wanita yang alur kehidupannya tidak
seperti wanita pada umumnya, ia terisolasi dalam dunia mistisme jauh dari
hal-hal duniawi. Tidak ada sesuatu yang lebih dicintainya di dunia yang
melebihi cintanya kepada Allah. Kehidupannya seolah hanya untuk mendapatkan
ridho Allah, tidak ada suatu tujuan apapun selain itu. Rabiah pernah
mengeungkapkan bentuk penyerahan dirinya kepada Allah, ketulusan ibadahnya
kepada Allah dalam syair berikut ini :
“Jika aku menyembah-Mu karena takut
api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena
mengharap surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya. Tetapi jika aku
menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang
besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”
الحب الذي لا تقيده رغبة سوى حب الله وحده
‘Cinta yang murni yang bukan hanya
terbatas oleh keinginan adalah cinta kepada Allah semata’
Siti Rabiah Al-adawiyah dilahirkan
ditengah keluarga miskin. Seisi rumahnya hanya dapat ditemukan barang
yang memang benar-benar diperlukan saja bahkan konon mereka tidak memiliki
setetes minyak (sejenis minyak telon) saja untuk menghangatkan perut anaknya,
mereka tidak memiliki lampu untuk menerangi rumahnya. Ayahnya hanya
bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan
sampan. Ayah Rabiah Adawiyah pantang untuk meminta-minta kepada orang lain
walaupun kondisi ekonominya ditengah kehancuran dan mendekati kesengsaraan.
Ayah Rabiah bernama Ismail, nama yang tidak begitu dikenal di wilayahnya, jauh
dari keheidupan gemerlap kota Basra yang saat itu merupakan kota besar. Lebih
baik mati daripada hidup meminta-minta kepada orang lain bagi Ayah Rabiah
Adawiyah. Prinsip yang melekat dalam diri Ayah Rabiah selaku suami dari istri
yang memiliki empat anak ini begitu kuat. Sang suami selalu yakin bahwa
pertolongan Allah akan segera datang, Allah tidak pernah tertidur, Allah
selalu akan menjaga dan melindungi istri dan anak-anaknya. Hingga suatu
ketika Isterinya yang malang menangis sedih atas keadaan
keluarganya yang serba memprihatinkan itu. Dalam keadaan yang demikian
itu sang istri mengeluh kepada sang suami. Sang suami hanya dapat menekurkan
kepala ke atas lutut hingga akhirnya ia terlena dalam tidurnya. Di dalam
tidurnya ia bermimpi melihat Nabi. Nabi membujuknya: “Janganlah engkau bersedih,
karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan
menjadi penengah bagi 70 ribu orang di antara kaumku”. Kemudian Nabi
meneruskan; “Besok, pergilah engkau menghadap ‘ Gubernur Bashrah, Isa az-Zadan
dan tuliskan kata-kata berikut ini diatas sehelai kertas putih : ‘Setiap
malam engkau mengirimkan shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam
Jum’at empat ratus kali. Kemarin adalah malam Jum’at tetapi engkau lupa
melakukannya. Sebagai penebus kelalaianmu itu berikanlah kepada orang ini empat
ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal’”. Ketika terjaga dari
tidurnya, ayah Rabiah mengucurkan air mata seraya bersyukur kepada Allah karena
ia yakin bahwa mimpinya adalah benar dan merupakan petunjuk dari Allah bagi
hambanya yang beriman. la pun segera menjalankan petunjuk sebagaimana yang
diperintahkan Nabi dalam mimpinya, iamenulis dan mengirimkannya
tulisannya kepada gubernur melalui pengurus rumah tangga istana. Tidak
lama setelah sang Gubernur mambaca surat tersebut, sang gubernur langsung
mengirim utusannya untuk membagikan uang masing-masing dua ribu dinar
kepada orang-orang miskin.
Seolah terhanyut dalam kebahagian
dan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur karena sang gubernur merasa bahwa dia
adalah orang yang istimewa di mata nabi maka ia memberikan hadiah uang empat
ribu dinar kepada ayah Rabiah Adawiyah pada awalnya. Namun, setelah beberapa
saat sang gubernur merasa tidak pantas hanya menghadiahkan uang
dalam jumlah tersebut kepada kekasih Allah. Sang gubernur pun berjanji akan
memberikan apapun yang dibutuhkan ayah Rabiah Adawiyah. Kemudian sang
gubernur pergi menemui Ayah dirumahnya dan membicarakan semua yang telah ia
janjikan bagi ayah Rabiah Adawiyah. Sebagaimana yang penulis baca dan
kutip dari http://cerekaduniaakhirat.blogspot.com yang menceritakan
“Amir itu meminta supaya bapa Rabi’atul-adawiyyah selalu mengunjungi
beliau apabila hendakkan sesuatu karena beliau sungguh berasa bertuah dengan
kedatangan orang yang hampir dengan Allah. Selepas bapanya meninggal dunia,
Basrah dilanda oleh kebuluran. Rabi’atul-adawiyyah berpisah dari
adik-beradiknya. Suatu ketika kafilah yang beliau tumpangi itu telah diserang
oleh penyamun. Ketua penyamun itu menangkap Rabi’atul-adawiyyah untuk dijadikan
barang rampasan untuk dijual ke pasar sebagai abdi. Maka lepaslah ia ke tangan
tuan yang baru.
Suatu hari, tatkala beliau pergi ke
satu tempat atas suruhan tuannya, beliau telah dikejar oleh orang jahat. beliau
lari. Tetapi malang, kakinya tergelincir dan jatuh. Tangannya patah. Beliau
berdoa kepada Allah, “Ya Allah! Aku ini orang yatim dan abdi. Sekarang tanganku
pula patah. tetapi aku tidak peduli segala itu asalkan Kau rida denganku.
tetapi nyatakanlah keridaanMu itu padaku.” Tatkala itu terdengarlah suatu suara
malaikat, “Tak mengapa semua penderitaanmu itu. Di hari akhirat kelak kamu akan
ditempatkan di peringkat yang tinggi hinggakan Malaikat pun kehairanan
melihatmu.” Kemudian pergilah ia semula kepada tuannya. Selepas peristiwa itu,
tiap-tiap malam ia menghabiskan masa dengan beribadat kepada Allah, selepas
melakukan kerja-kerjanya. Beliau berpuasa berhari-hari. Suatu hari, tuannya
terdengar suara rayuan Rabi’atul-adawiyyah di tengah malam yang berdoa kepada
Allah : “Tuhanku! Engkau lebih tahu bagaimana aku cenderung benar hendak
melakukan perintah-perintahMu dan menghambakan diriku dengan sepenuh jiwa,
wahai cahaya mataku. Jikalau aku bebas, aku habiskan seluruh masa malam dan
siang dengan melakukan ibadat kepadaMu. Tetapi apa yang boleh aku buat kerana
Kau jadikan aku hamba kepada manusia.”
Dilihat oleh tuannya itu suatu
pelita yang bercahaya terang tergantung di awang-awangan, dalam bilik
Rabi’atul-adawiyyah itu, dan cahaya itu meliputi seluruh biliknya. Sebentar itu
juga tuannya berasa adalah berdosa jika tidak membebaskan orang yang begitu
hampir dengan Tuhannya. sebaliknya tuan itu pula ingin menjadi khadam kepada
Rabi’atul-adawiyyah. Esoknya, Rabi’atul-adawiyyah pun dipanggil oleh tuannya
dan diberitahunya tentang keputusannya hendak menjadi khadam itu dan Rabi’atul-adawiyyah
bolehlah menjadi tuan rumah atau pun jika ia tidak sudi bolehlah ia
meninggalkan rumah itu. Rabi’atul-adawiyyah berkata bahawa ia ingin
mengasingkan dirinya dan meninggalkan rumah itu. Tuannya bersetuju.
Rabi’atul-adawiyyah pun pergi. Suatu masa Rabi’atul-adawiyyah pergi naik haji
ke Mekkah. Dibawanya barang-barangnya atas seekor keldai yang telah tua. Keldai
itu mati di tengah jalan. Rakan-rakannya bersetuju hendak membawa barang
-barangnya itu tetapi beliau enggan kerana katanya dia naik haji bukan di bawah
perlindungan sesiapa. Hanya perlindungan Allah S.W.T. Beliau pun tinggal
seorang diri di situ. Rabi’atul-adawiyyah terus berdoa, “Oh Tuhan sekalian
alam, aku ini keseorangan, lemah dan tidak berdaya. Engkau juga yang menyuruhku
pergi mengunjungi Ka’abah dan sekarang Engkau matikan keldaikudan membiarkan
aku keseorangan di tengah jalan.” Serta-merta dengan tidak disangka-sangka
keldai itu pun hidup semula. Diletaknya barang-barangnya di atas keldai itu dan
terus menuju Mekkah. Apabila hampir ke Ka’abah, beliau pun duduk dan berdoa,
“Aku ini hanya sekepal tanah dan Ka’abah itu rumah yang kuat. Maksudku ialah
Engkau temui aku sebarang perantaraan.” Terdengar suara berkata,
“Rabi’atul-adawiyyah, patutkah Aku tunggangbalikkan dunia ini kerana mu agar
darah semua makhluk ini direkodkan dalam namamu dalam suratan takdir? Tidakkah
kamu tahu Nabi Musa pun ada hendak melihatKu? Aku sinarkan cahayaKu sedikit
sahaja dan dia jatuh pengsan dan Gunung Sinai runtuh menjadi tanah hitam.”
Suatu ketika yang lain, semasa Rabi’atul-adawiyyah menuju Ka’abah dan sedang
melalui hutan, dilihatnya Ka’abah datang mempelawanya. Melihatkan itu, beliau
berkata, “Apa hendakku buat dengan Ka’abah ini; aku hendak bertemu dengan tuan
Ka’abah (Allah) itu sendiri. Bukankah Allah juga berfirman iaitu orang yang
selangkah menuju Dia, maka Dia akan menuju orang itu dengan tujuh langkah? Aku
tidak mahu hanya melihat Ka’abah, aku mahu Allah.” Pada masa itu juga, Ibrahim
Adham sedang dalam perjalanan ke Ka’abah. Sudah menjadi amalan beliau
mengerjakan sembahyang pada setiap langkah dalam perjalanan itu. Maka oleh itu,
beliau mengambil masa empat belas tahun baru sampai ke Ka’bah. Apabila sampai
didapatinya Ka’abah tidak ada. Beliau sangat merasa hampa. Terdengar olehnya
satu suara yang berkata, “Ka’abah itu telah pergi melawat Rabi’atul
-adawiyyah.” Apabila Ka’bah itu telah kembali ke tempatnya dan
Rabi’atul-adawiyyah sedang menongkat badannya yang tua itu kepada kepada
tongkatnya, maka Ibrahim Adham pun pergi bertemu dengan Rabi’atul-adawiyyah dan
berkata “Rabi’atul-adawiyyah, kenapa kamu dengan perbuatanmu yang yang ganjil
itu membuat haru-biru di dunia ini?” Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Saya tidak
membuat satu apa pun sedemikian itu, tetapi kamu dengan sikap ria (untul
mendapat publisiti) pergi ke Ka’abah mengambil masa empat belas tahun.” Ibrahim
mengaku yang ia sembahyang setiap langkah dalam perjalanannya.
Rabi’atul-adawiyyah berkata, “Kamu isi perjalananmu itu dengan
sembahyang,tetapi aku mengisinya dengan perasaan tawaduk dan khusyuk.” Tahun
kemudiannya, lagi sekali Rabi’atul-adawiyyah pergi ke Ka’abah. beliau berdoa,
“Oh Tuhan! perlihatkanlah diriMu padaku.” Beliau pun berguling-guling di atas
tanah dalam perjalanan itu. Terdengar suara, “Rabi’atul-adawiyyah,
hati-hatilah, jika Aku perlihatkan diriKu kepadamu, kamu akan jadi abu.”
Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Aku tidak berdaya memandang keagungan dan
kebesaranMu, kurniakanlah kepadaku kefakiran (zahid) yang mulia di sisiMu.”
Terdengar lagi suara berkata, “Kamu tidak sesuai dengan itu. Kemuliaan seperti
itu dikhaskan untuk lelaki yang memfanakan diri mereka semasa hidup mereka
kerana Aku dan antara mereka dan Aku tidak ada regang walau sebesar rambut pun,
Aku bawa orang-orang demikian sangat hampir kepadaKu dan kemudian Aku jauhkan mereka,
apabila mereka berusaha untuk mencapai Aku. Rabi’atul-adawiyyah, antara kamu
dan Aku ada lagi tujuh puluh hijab atau tirai. Hijab ini mestilah dibuang dulu
dan kemudian dengan hati yang suci berhadaplah kepadaKu. Sia-sia sahaja kamu
meminta pangkat fakir dari Aku.” Kemudian suara itu menyuruh
Rabi’atul-adawiyyah melihat ke hadapan. Dilihatnya semua pandangan telah
berubah. Dilihatnya perkara yang luar biasa. Di awang-awangan ternampak lautan
darah yang berombak kencang. Terdengar suara lagi, “Rabi’atul-adawiyyah, inilah
darah yang mengalir dari mata mereka yang mencintai Kami (Tuhan) dan tidak mahu
berpisah dengan Kami. Meskipun mereka dicuba dan diduga, namun mereka tidak
berganjak seinci pun dari jalan Kami dan tidak pula meminta sesuatu dari Kami.
Dalam langkah permulaan dalam
perjalanan itu, mereka mengatasi semua nafsu dan cita-cita yang berkaitan
dengan dunia dan akhirat. Mereka beruzlah (memencilkan diri) dari dunia hingga
tidak ada sesiapa yang mengetahui mereka. Begitulah mereka itu tidak mahu
publisiti (disebarkan kepada umum) dalam dunia ini.” Mendengar itu,
Rabi’atul-adawiyyah berkata, “Tuhanku! Biarkan aku tinggal di Ka’abah.” Ini pun
tidak diberi kepada beliau. Beliau dibenarkan kembali ke Basrah dan
menghabiskan umurnya di situ dengan sembahyang dan memencilkan diri dari orang
ramai.
Suatu hari Rabi’atul-adawiyyah
sedang duduk di rumahnya menunggu ketibaan seorang darwisy untuk makan
bersamanya dengan maksud untuk melayan darwisy itu, Rabi’atul-adawiyyah
meletakkan dua buku roti yang dibuatnya itu di hadapan darwisy itu. Darwisy itu
terkejut kerana tidak ada lagi makanan untuk Rabi’atul-adawiyyah. Tidak lama
kemudian, dilihatnya seorang perempuan membawa sehidang roti dan memberinya
kepada Rabi’atul-adawiyyah menyatakan tuannya menyuruh dia membawa roti itu
kepada Rabi’atul-adawiyyah, Rabi’atul-adawiyyah bertanya berapa ketul roti yang
dibawanya itu. Perempuan itu menjawab, “Lapan belas.” Rabi’atul-adawiyyah tidak
mahu menerima roti itu dan disuruhnya kembalikan kepada tuannya. Perempuan itu
pergi. Kemudian datang semula. Rabi’atul-adawiyyah menerima roti itu selepas
diberitahu bahawa ada dua puluh ketul roti dibawa perempuan itu. Darwisy itu
bertanya kenapa Rabi’atul-adawiyyah enggan menerima dan kemudian menerima pula.
Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Allah berfirman dalam Al-Quran iaitu : “Orang
yang memberi dengan nama Allah maka Dia akan beri ganjaran sepuluh kali ganda.
Oleh itu, saya terima hadiah apabila suruhan dalam Al-Quran itu dilaksanakan.”
Suatu hari Rabi’atul-adawiyyah sedang menyediakan makanan. Beliau teringat yang
beliau tidak ada sayur. Tiba-tiba jatuh bawang dari bumbung. Disepaknya bawang
itu sambil berkata, “Syaitan! Pergi jahanam dengan tipu-helahmu. Adakah Allah
mempunyai kedai bawang?” Rabi’atul-adawiyyah berkata, “Aku tidak pernah meminta
dari sesiapa kecuali dari Allah dan aku tidak terima sesuatu melainkan dari
Allah.”
Suatu hari, Hassan Al-Basri melihat
Rabi’atul-adawiyyah dikelilingi oleh binatang liar yang memandangnya dengan
kasih sayang. Bila Hassan Al-Basri pergi menujunya, binatang itu lari. Hassan
bertanya, “Kenapa binatang itu lari?” Sebagai jawaban, Rabi’atul-adawiyyah
bertanya, “Apa kamu makan hari ini?” Hassan menjawab, “Daging.” Rabi’atul-
adawiyyah berkata, Oleh kerana kamu makan daging, mereka pun lari, aku hanya
memakan roti kering.”
Suatu hari Rabi’atul-adawiyyah pergi
berjumpa Hassan Al-Basri. Beliau sedang menangis terisak-isak kerana bercerai
(lupa) kepada Allah. Oleh kerana hebatnya tangisan beliau itu, hingga air
matanya mengalir dilongkang rumahnya. Melihatkan itu, Rabi’atul-adawiyyah
berkata, “Janganlah tunjukkan perasaan sedemikian ini supaya batinmu penuh
dengan cinta Allah dan hatimu tenggelam dalamnya dan kamu tidak akan mendapati
di mana tempatnya.” Dengan penuh kehendak untuk mendapat publiksiti, suatu
hari, Hassan yang sedang melihat Rabi’atul-adawiyyah dalam satu perhimpunan
Aulia’ Allah, terus pergi bertemu dengan Rabi’atul-adawiyyah dan berkata,
“Rabi’atul-adawiyyah, marilah kita meninggalkan perhimpunan ini dan marilah
kita duduk di atas air tasik sana dan berbincang hal-hal keruhanian di sana.”
Beliau berkata dengan niat hendak menunjukkan keramatnya kepada orang lain yang
ia dapat menguasai air (seperti Nabi Isa a.s. boleh berjalan di atas air).
Rabi’atul-adawiyyah berkata, “Hassan, buangkanlah perkara yang sia-sia itu.
Jika kamu hendak benar memisahkan diri dari perhimpunan Aulia’ Allah, maka
kenapa kita tidak terbang sahaja dan berbincang di udara?” Rabi’atul-adawiyyah
berkata bergini kerana beliau ada kuasa berbuat demikian tetapi Hassan tidak
ada berkuasa seperti itu. Hassan meminta maaf. Rabi’atul-adawiyyah berkata,
“Ketahuilah bahawa apa yang kamu boleh buat, ikan pun boleh buat dan jika aku
boleh terbang, lalat pun boleh terbang. Buatlah suatu yang lebih dari perkara
yang luarbiasa itu. Carilah ianya dalam ketaatan dan sopan-santun terhadap
Allah.” Seorang hamba Allah bertanya kepada Rabi’atul-adawiyyah tentang perkara
kahwin. beliau menjawab, “Orang yang berkahwin itu ialah orang yang ada
dirinya. Tetapi aku bukan menguasai badan dan nyawaku sendiri. Aku ini
kepunyaan Tuhanku. Pintalah kepada Allah jika mahu mengahwini aku.”
Hassan Al-Basri bertanya kepada
Rabi’atul-adawiyyah bagaiman beliau mencapai taraf keruhanian yang tinggi itu.
Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Aku hilang (fana) dalam mengenang Allah.” Beliau
ditanya, “Dari mana kamu datang?” Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Aku datang
dari Allah dan kembali kepada Allah.” Rabi’atul-adawiyyah pernah bermimpi
bertemu dengan Nabi Muhammad S.A.W. dan baginda bertanya kepadanya sama ada beliau
pernah mengingatnya sebagai sahabat. Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Siapa yang
tidak kenal kepada tuan? Tetapi apakan dayaku. Cinta kepada Allah telah
memenuhi seluruhku, hinggakan tidak ada ruang untuk cinta kepadamu atau benci
kepada syaitan.” Demikian petikan dari cerita Rabiah adwiyah versia melayu yang
menggambarkan betapa besar kecintaan Rabiah Adawiyah kepada Allah saat ia masih
kecil hingga ia dewasa.
Rabi’ah adalah puteri yang keempat
dari empat bersaudara. Itulah sebabnya mengapa ia dinamakan Rabiah. Keberadaan
cerita Rabiah sebagai cerita yang menarik dan populer pada zamannya banyak
disadur dalam berbagai bahasa yakni cerita rabiah Adawiyah versi Arab,
cerita rabiah Adawiyah versi Melayu, termasuk bahasa-bahasa di Nusantara salah
satunya adalah cerita Rabiah Adawiyah yang ditulis dalam bahasa Bugis
2. AL
HALLAJ
Husain ibn
Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah
seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia
merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya
adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya
memeluk islam. Al-Hallaj
merupakan syekh sufi abad
ke-9 dan ke-10 yang paling
terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran",
ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.
Bagi sebagian
ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam
tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena
Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa
al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj
juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi
semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada
orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan
berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat
dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan
tersebut
Meskipun
al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir
semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang
diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya,
menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia
menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar
(yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang
menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah
kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah
Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam
syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata
'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah
Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah
kezaliman."
DAFTAR PUSTAKA
https://sites.google.com/site/mputantular2011/renungan-1/kisah-sufi-perempuan-pertama-rabi-ah-al-adawiyah-mahabbah, diakses tanggal 14 Maret 2013 pukul 12.00 WIB.
Posting Komentar